Kita bisa terlahir di keluarga yang penuh kekerasan, atau membawa cacat sejak lahir;
kita menjalani hidup penuh kesusahan, lantas mati, lalu sudah?
Tidak lebih daripada tidur tanpa mimpi dan tiada akhir?
Dimana keadilan?
Tidakkah kita seharusnya mendapatkan kesempatan kedua dengan posisi start yang sama?
—Carl Sagan, Lelapnya Newton, The Demon-Haunted World, 1996
Semenjak masa kanak-kanak, kita selalu diajarkan oleh beragam perilaku terpuji. Dari mulai tolong menolong, rendah hati, bertanggung jawab hingga sikap tenggang rasa. Bersamaan dengan itu kita diperkenalkan juga dengan sikap buruk yang sebaiknya dihindari, sombong, menindas yang lemah, berbohong adalah beberapa perilaku yang akan membuat kita menjadi pribadi yang rendah dibanding yang lainnya.
Secara sederhana kita paham dan merasakan manfaatnya, tapi bagi beberapa anak dengan rasa ingin tahu mungkin akan bertanya kepada orang tuanya, mengapa kita harus berbuat baik dan menghindari berbuat jahat seperti itu? Orang tua dengan sabar menjawab bahwasanya berbuat baik akan membuatmu dihargai sebagai manusia, bahwa perilaku tersebut adalah “sesuatu yang tepat untuk dilakukan” dan melakukan perbuatan buruk akan menyebabkan kerugian bagi orang lain. Anak yang penasaran terus bertanya, memangnya ada apa dengan “dihargai sebagai manusia” atau bila perbuatan kita merugikan orang lain? Hingga rentetan pertanyaan setelahnya oleh anak tersebut.
Sampai pada titik ini, biasanya orang tua dan juga mayoritas orang akan memberikan jawaban tentang kisah mulia asal usul kita sebagai manusia. Bahwa kita adalah hasil karya suatu zat maha kuasa dan maha sempurna bersinggasana di atas kita yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Tidak hanya manusia, tetapi juga alam semesta, Bumi hingga bintang adalah hasil ciptaannya. Cerita ini mungkin berbeda pada detail-detailnya di beberapa kelompok masyarakat, tetapi pada dasarnya sama saja.
Sebagai entitas awal dan yang menguasai, zat ini memberikan pedoman moral apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh manusia untuk kebaikan manusia itu sendiri dalam kehidupannya atau untuk menghadapi tujuan sesungguhnya setelah kematiannya. Untuk memastikan manusia mengikuti pedoman ini, dijanjikan ganjaran yang baik bagi yang menaati seperti pahala, rezeki, surga, kesempatan bertemu langsung dengan-Nya, reinkarnasi yang baik-baik di kehidupan selanjutnya dan yang melanggar akan disanksi dosa, karma, neraka, atau susah mewujudkan keinginan di kehidupan keduanya.
Narasi seperti di atas begitu dimonopoli oleh agama (dan atau bentuk kepercayaan-kepercayaan) hingga banyak yang yakin bahwa asal moral adalah agama (sebagai perwakilan pencipta yang maha kuasa) itu sendiri. Dengan begitu, untuk bermoral kita harus memiliki agama, atau setidaknya mempunyai keyakinan bahwa ada sesuatu yang lain di atas kita yang mengawasi dan mungkin mengintervensi segala perilaku kita. Tapi apakah benar seperti itu? Apakah benar bahwa orang yang, mungkin dalam keadaan khusus, tidak beragama otomatis tidak bermoral? Jika benar berarti bertambah satu lagi alasan untuk tetap menceritakan narasi serupa, tetapi jika sebaliknya, lantas apa gunanya narasi tentang zat maha kuasa bergelar Tuhan tersebut sejak awal? Menjawab pertanyaan tersebut memang tidak sederhana, tetapi dengan pendekatan yang tepat, mungkin saja kita bisa mendapat sedikit titik terang.
Pada dasarnya semua mahluk hidup cenderung mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Ini adalah pengetahuan umum. Tapi terkadang manusia lupa bahwa beberapa hal yang kita lakukan berpangkal pada hal ini. Misalnya metode ilmiah atau sains yang sebenarnya sudah ada ratusan ribu tahun yang lalu untuk tujuan ini.
Menyebutnya seperti itu mungkin akan kedengaran ekslusif atau rumit sehingga kebanyakan orang akan bilang bahwa metode tersebut adalah sesuatu yang baru ada seiring kemajuan peradaban manusia, mungkin memang sudah lama hingga setidaknya kembali ke bangsa Ionia yang terkenal itu atau para filsuf Yunani seperti Thales (620-546 SM) sudah mengaplikasikannya secara teratur, tetapi tidak sampai ratusan ribu tahun lalu. Mungkin ini benar, tetapi yang ingin saya tekankan di sini adalah tentang dasar metode ini yang manusia maupun hewan lakukan untuk bertahan hidup secara sadar atau tidak, bagi manusia setidaknya saya ingin menyebutnya metode sains atau metode ilmiah.
Metode ini sebenarnya sederhana dan sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya dijabarkan epistemologinya panjang lebar oleh para ahli dalam buku-buku filsafatnya. Seperti misalnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana sebelum memutuskan untuk membeli produk makanan tertentu hingga kita mendapatkan hasil terbaik. Berapa harganya? Benarkah kandungan nutrisinya seperti ini? Benarkah rasanya enak? Benarkah produk ini berkhasiat? Untuk menjawabnya kita bisa memperhatikan testimoni jujur dari banyak orang, atau mencobanya langsung. Bagaimana membuktikan klaim produsen penyedia cat tembok bahwa produknya mencegah kebocoran dinding rumahmu atau produk tersebut bertahan lama? Mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah metode sains.
Kembali ke ribuan tahun lalu dimana ilmu pengetahuan belum semaju sekarang, para tabib-tabib terkenal melakukan banyak percobaan ramuan-ramuan untuk mengetahui khasiatnya. Ramuan tersebut kemudian diseleksi hingga yang benar-benar bermanfaat direkam dalam catatan-catatan sederhananya. Kembali ke ratusan ribu tahun yang lalu di saat awal-awal spesies manusia mulai berbeda dengan nenek moyangnya, mereka melakukan hal serupa. Memperhatikan dan mengingat jejak buruannya, menandai tempat-tempat biasa ditempati buruannya beristrahat. Atau saat-saat kapan para hewan pemangsa lain juga menargetkan buruan yang sama. Hal ini membuat mereka mendapatkan lebih banyak buruan sehingga meningkatkan peluang mereka bertahan hidup. Cara ini tidak mulus, tetapi dilakukan berulang-ulang hingga mereka menemukan metode yang pas.
Metode ini, diakui ataupun tidak, bukanlah ekslusif hanya milik manusia. Hewan lain juga memilikinya, seperti halnya juga emosi, sedih, marah, bahagia yang dimiliki manusia juga dimiliki spesies lain. Cara bertahan hidup ini melekat dan tercatat pada hewan dan atau manusia hingga ke level paling dasar, kode genetik penyusun kehidupan seperti DNA, sepanjang perjalanan evolusinya.
Anda mungkin ragu bahwa pendekatan seperti di atas terlalu tendensius pada “dogma” evolusi. Ya mungkin benar, tapi menyebutnya dogma mungkin agak keliru. Sama seperti anda mempertanyakan produk minuman soda mana yang terbaik untuk anda konsumsi, metode serupa juga bisa diaplikasikan untuk membuktikan keraguan anda tentang evolusi ini. Satu yang pasti, evolusi punya ribuan bukti untuk penjelasan di atas. Anda mungkin tertarik membaca artikel ini.
Selain itu, salah satu produk mutasi genetik manusia saat perjalanan evolusi dari nenek moyang kita yang paling saya syukuri mungkin adalah pengembangan sistem komunikasi kita yang berbeda dan unik. Sistem komunikasi ini meningkatkan efisiensi kita dalam bekerja sama dengan individu lain dalam sebuah kelompok. Bayangkan metode sains atau skeptisisme atau metode coba-coba sebelumnya jika digabungkan dengan sistem komunikasi yang tidak dimiliki oleh hewan lain. Tentu saja spesies kita tinggal menunggu waktu hingga dapat menjadi pemuncak rantai makanan dalam lingkungan Bumi.
Metode sains kemudian melahirkan sistem agraris/cocok tanam pertama, dimana manusia kini tidak harus berpindah tempat untuk menemukan sumber makanan tetapi bisa memproduksinya sendiri di suatu tempat. Dalam pengembangannya, tempat yang cocok untuk memproduksi bahan makanan ini kemudian menjadi tempat manusia bisa membentuk kelompok yang lebih besar. Tidak heran jika peradaban-peradaban pertama seperti tepi Sungai Nil atau lembah Mesopotamia, merupakan tempat yang subur bagi kegiatan bercocok tanam.
Tempat ini semakin lama semakin ramai sehingga dibutuhkan sebuah sistem peradaban untuk mengakomodasi kompleksnya interaksi antar manusia dalam kelompok-kelompok yang lebih besar ini. Lahirlah aksara, sistem pemimpin yang lebih canggih, hukum, adat-istiadat, dan agama.
Bagaimana dengan moral? Apakah moral juga adalah hasil pengembangan metode bertahan hidup kita dalam sebuah kelompok dan kemudian teruji bermanfaat bagi kelangsungan hidup kita sebagai spesies? Setelah membaca penjabaran di atas, rasanya tidak sulit untuk mengambil kesimpulan bahwa moral juga merupakan salah satu metode evolusi untuk mendukung keberlangsungan mahluk hidup sosial seperti kita, seperti halnya juga simpanse yang mengucilkan salah satu individu yang tidak cocok dengan sebuah kelompok.
Bermoral berarti menegaskan kesesuaian suatu individu untuk hidup dalam sebuah kelompok. Bukan karena memiliki moral yang baik akan memberimu surga, tetapi karena hal ini bermanfaat bagi suatu kelompok dan itu teruji ribuan tahun. Moral tentu saja tidak terbatas oleh agama atau idealisme, ia adalah evolusi metode bertahan hidup manusia sejak puluhan ribu tahun lalu. Hal ini tidak berbeda dengan hewan lain, satu-satunya pembeda paling krusial adalah hewan tidak mampu menciptakan standarisasi moral yang berlaku lintas kelompok, ras, dan wilayah.
Kenapa manusia mampu? Seperti yang saya tulis, salah satunya adalah mutasi sistem komunikasi kita yang berbeda (dan tentu saja evolusi cara berpikir hingga mempengaruhi morfologi otak kita), juga didukung oleh kebetulan lain seperti musnahnya dinosaurus oleh meteor (atau apapun itu). Anda mungkin akan mengatakan bahwa ini lucu, masa sesuatu hal yang rumit seperti itu terjadi karena kebetulan. Jawaban saya tetap, iya, beberapa karena kebetulan. Anda bahkan akan terkejut bila mengetahui seberapa banyak kejadian-kejadian krusial yang terjadi murni karena kebetulan atau probabilitas di alam semesta.
Bagaimana juga dengan konsep yang sebagian orang anggap abstrak, seperti cinta? Penjelasan ini gampang bahkan bagi orang awam di masa kini. Jatuh cinta membuat otakmu memproduksi hormon kebahagiaan seperti dopamin. Tampaknya mekanisme ini adalah hasil evolusi untuk memastikan suatu spesies seperti juga manusia tetap mempertahankan tradisi berpasang-pasangan dan menjaga keberlanjutan keturunan spesies tersebut.
Pada akhirnya bahkan bagi ilmu fisika, cinta, pembentukan undang-undang negara, agama, filsafat hingga moral punya justifikasi sangat sederhana bagi manusia, bertahan hidup. Catatan tentang sifat-sifat ini sudah mengakar dalam genetika kita. Alasan ini yang juga menghubungkan kita dengan mahluk hidup lain bagamanapun sederhananya bentuk kehidupan tersebut, amuba, virus, bakteri, serangga hingga harimau.
Metode bertahan hidup spesies lain mungkin berbeda tetapi pada dasarnya sama dengan kita yang belajar mekanika kuantum, mengobservasi lubang hitam di tengah-tengah sebuah galaksi, meneliti vaksin bagi penyakit terbaru hingga menyusun hukum pidana yang efektif. Saya tidak yakin apakah seorang ilmuwan yang merancang metode matematika untuk memprediksi fenomena tertentu secara objektif lebih berharga dan rumit dibanding dari sekadar ekolokasi kelelawar saat mencari makanan di malam hari. Atau peralatan seismograf dibanding naluri hewan saat akan terjadi gempa. Bagi saya, mereka mirip.
Sampai pada tahap ini, rasanya tidak susah sampai kepada kesimpulan bahwa kita, manusia, sebenarnya sama saja dengan mahluk hidup lain tetapi dengan metode bertahan hidup yang berbeda dan lebih unggul. Bermoral dan berfilsafat memang menjadikan manusia berbeda, tetapi hal-hal sejenis ini tidak lantas membuktikan bahwa kita adalah mahluk yang berasal dari langit. Eh maksud saya kita memang berasal dari langit, kita, Bumi dan planet lainnya adalah anak cucu bintang dan fluktuasi kuantum di awal ledakan besar.
Lalu bagaimana dengan pertanyaan sebelumnya mengenai manfaat narasi tentang entitas maha kuasa? Terlepas dari pertanyaan tentang objektivitas kebenarannya, menurut saya ini merupakan salah satu metode terbaik yang dimiliki manusia untuk bertahan hidup dalam sebuah masyarakat sosial saat ini. Apakah akan ada alternatif pengganti untuk metode ini di masa depan? Saya tidak yakin. Tetapi dilihat dari sejarahnya, kecenderungan sebuah metode pengelolaan kelompok biasanya akan tergantikan oleh metode yang lebih baik (atau yang populer). Seperti halnya juga ide perbudakan, imperialisme, perang, dan lainnya. Apakah bertahannya kepercayaan suatu agama selama ribuan tahun membuktikan bahwa agama berasal dari Tuhan yang sebenarnya? Mungkin saja.
Bagi sebagian orang, mengetahui alasan “sepele” mengapa kita harus bermoral baik mungkin akan menghilangkan tujuan mulia dalam hidup itu sendiri. Bagi saya, justru sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan pemikiran bahwa saya berbuat baik kepada sesama untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia sebagai kelompok itu sendiri. Atau sebatas karena saya mengharapkan imbalan yang dengan itu akan meningkatkan keberlangsungan eksistensi saya lebih lama. Ini normal. Adat-istiadat, hukum dan sejenisnya ada untuk salah satunya memastikan bahwa proses give and take ini berlangsung atas kemauan kedua belah pihak dan tidak merugikan siapa-siapa.
Selanjutnya tentu saja adalah memastikan cara bertahan hidup kita tidak kadaluarsa. Mempertimbangkan bahaya perang sekali lagi, perubahan iklim, keaneakaragaman hayati di Bumi, pembuatan kebijakan publik yang baik, pengembangan sains dan teknologi di arah yang benar dan tindakan-tindakan sejenis merupakan langkah yang harus diambil agar kita tidak menghancurkan spesies kita secara tidak sengaja.
Dalam perkembangannya kita akan sadar bahwa apapun keputusan yang saya atau kelompok saya ambil tidak akan berguna jika tidak bermanfaat bagi semua manusia terlepas dari agama dan ras atau bahkan negara. Kita mungkin akan sadar bahwa adalah tanggung jawab manusia itu sendiri untuk menciptakan surga sebagaimana tujuan sebagian besar agama dan tentu saja manusia. Bukan, bukan surga saat kita mati tetapi di sini di Bumi untuk kita nikmati. Dan kita sudah mulai mencapainya.