
Pernah terpikir bagaimana para ilmuwan astronomi atau astrofisika bisa menentukan jarak objek luar angkasa seperti Matahari, planet atau bintang? Jarak antar objek pada skala alam semesta luar biasa sangat besar hingga para ilmuwan memperkenalkan satuan jarak seperti AU (Astronomical Unit) dimana satuan ini merepresentasikan jarak Bumi-Matahari yaitu 149.597.870 km (sekitar 150 juta km).
Selain itu ada juga satuan lain yaitu parsec (pc) dimana 1 pc = 3,086 x 1013 km (sekitar 30 triliun km) dan tahun cahaya (lightyear = ly) dimana satuan ini merupakan jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam satu tahun, 1 ly = 9,46 × 1012 km (sekitar 9,5 triliun km). Sebagai contoh hasil perhitungan jarak bintang terdekat dari sistem tata surya kita, Proxima Centauri yang terletak di sistem bintang Alpha Centauri, adalah sekitar 4,244 ly (sekitar 40 triliun km).
Jarak-jarak ini sangat besar hingga orang awam mungkin bingung, angka-angka ini dari mana datangnya? Mungkin saja para ilmuwan hanya melakukan perkiraan dan seenaknya memberi label jarak sekian triliun km. Toh kita sebagai orang awam akan percaya-percaya saja. Lagian angka jarak-jarak ini juga tidak berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari sehingga angka ini datang dari mana, ya diterima saja. Taken for granted.
Untungnya, sama seperti disiplin ilmu lain, penentuan jarak objek di alam semesta ini juga mempunyai dasar sains terutama fisika dan matematika yang solid. Dalam sistem tata surya, ilmuwan menghitung jarak objek seperti Bulan dan planet-planet dengan memantulkan sinyal radar pada objek tersebut. Jika t adalah waktu yang dibutuhkan oleh foton untuk sampai kembali pada pengamat, maka jarak objek yang memantulkannya dapat dihitung dengan persamaan matematis sederhana berikut

Dimana D adalah jarak dan c adalah kecepatan cahaya, c = 300.000 km/jam. Metode ini efektif jika jarak objek dekat, tetapi jika sudah terlampau jauh metode ini menjadi tidak efektif karena gerak relatif objek tersebut yang menjadi besar. Selain itu, gelombang radio yang dipantulkan menjadi semakin samar untuk dideteksi.
Ada beberapa metode yang digunakan oleh para ilmuwan di zaman modern ini untuk menentukan jarak sebuah objek dari pengamat di Bumi. Sebelumnya, secara umum hubungan antara jarak dengan fluks dan luminositas sebuah objek diperlihatkan dalam persamaan matematis berikut,

Dimana L merupakan luminositas objek (jumlah energi yang dipancarkan objek ke segala arah per satuan waktu) dengan satuan watt atau erg/s. Sedangkan S merupakan fluks atau energi yang melewati suatu satuan luas per satuan waktu yang dinyatakan dalam erg/s/cm2 dan D merupakan distance atau jarak.
Karena ada beberapa metode yang bisa dipakai untuk menentukan jarak tergantung seberapa jauh objek tersebut, saya akan fokus pada metode yang dipakai para ilmuwan untuk menentukan sebuah objek yang masih masuk dalam keluarga sistem galaksi kita, Bima Sakti. Perlu diingat bahwa diameter galaksi ini adalah sekitar 100.000 ly, sehingga cakupan jarak yang metode ini bisa prediksi adalah pada jarak kurang dari diameter galaksi tersebut.
Paralaks Trigonometri
Metode paling tua dan paling penting dalam penentuan objek luar angkasa. Metode ini murni berdasarkan hitungan geometri. Karena pergerakan Bumi di sekitar Matahari, sebuah bintang dekat yang diamati juga akan berubah relatif terhadap objek super jauh di latar belakangnya (seperti galaksi jauh, quasar dll) bergantung pada posisi Bumi (pengamat). Perubahan relatif ini kemudian digunakan sebagai kerangka tetap untuk menentukan jarak objek tersebut.

Dalam waktu satu tahun, posisi semu sebuah bintang dekat akan membentuk lingkaran elips seperti yang ditunjukkan dalam gambar, yang kemudian disebut paralaks p. Nilai paralaks ini bergantung pada radius r orbit Bumi (1 AU, jarak Bumi-Matahari) dan juga jarak D sebuah bintang yang diamati, sehingga

Terakhir kita menggunakan nilai p << 1 dimana p diukur dalam radian. Masih ingat dengan satuan parsec (pc) sebelumnya? Nah satuan tersebut secara khusus merupakan besar jarak jika sebuah objek tepat memiliki nilai paralaks p = 1″ (satu arcsecond). Karena 1 arcsecond = 4,848 × 10–6 radian, sehingga p/1″ = 206265p. Hasil ini kemudian dikonversi ke dalam satuan AU, menjadi
1pc = 206265AU = 3,086 × 10¹³ km
Jarak objek untuk sebuah paralaks yang diukur kemudian dapat dicari dengan menggunakan persamaan matematis berikut

Untuk menentukan nilai paralaks p yang presisi, dibutuhkan pengamatan posisi semu sebuah objek selama Bumi mengorbit Matahari dengan teliti. Karena keterbatasan pengamatan para peneliti di Bumi yang biasanya diakibatkan kondisi atmosfer, metode ini terbatas bagi objek dengan nilai p lebih besar dari pada 0,01 arcsecond, yang berarti batasan jarak oleh metode ini adalah untuk objek sejauh sekitar 30 pc.
Walapun begitu, pengembangan metode ini dimungkinkan bagi nilai p yang lebih kecil dengan bantuan satelit astrometrik Hipparcos yang beroperasi antara November 1989 sampai Maret 1993. Satelit ini berhasil mengumpulkan ratusan ribu data paralaks bintang dengan tingkat ketelitian hingga 0,001 arcsecond sehingga meningkatkan jarak yang bisa diukur menggunakan metode ini sampai 300 pc. Satelit penerusnya, Gaia, kemudian diluncurkan akhir 2013 lalu yang diharapkan akan mengumpulkan data hingga tahun 2022 nanti dan akan membuat katalog data bintang berjumlah sekitar 109 bintang. Mari berharap misi satelit ini sukses.
Metode ini merupakan dasar bagi hampir semua metode yang digunakan untuk mengukur jarak sampai diameter sebuah objek di alam semesta karena sifatnya yang murni hitungan geometris. Metode ini pula yang memungkinkan pembuatan diagram Hertzprung-Russel (diagram H-R) (digunakan untuk menentukan jarak dan diameter bintang berdasarkan klasifikasi dan temperaturnya) sehingga bisa dikatakan bahwa penentuan jarak bintang berdasarkan properti fisisnya dikalibrasi oleh metode ini.
Proper Motion (Gerak Sejati)
Pernah dengar istilah Efek Doppler? Kalau tidak salah ingat, istilah ini diperkenalkan pada materi gelombang bunyi SMA. Singkatnya, Efek Doppler merupakan suatu kejadian dimana frekuensi suatu gelombang dari suatu sumber yang diterima pengamat mengalami pergerakan relatif terhadap pengamat. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada gelombang bunyi, tetapi juga pada gelombang cahaya (ingat dualitas gelombang-partikel cahaya). Tetapi karena cahaya bergerak cepat, efek ini akan kelihatan pada skala alam semesta.
Sebagai contoh, pengamatan galaksi jauh menunjukkan bahwa frekuensi spektrum cahaya yang dipancarkan galaksi tersebut bergeser ke frekuensi yang lebih rendah, menuju ujung merah, kalau dibandingkan spektrum bintang yang lebih dekat. Fenomena ini disebut dengan Red Shift atau pergeseran merah. Fenomena ini pula yang menunjukkan efek Doppler pada cahaya, yang juga menunjukkan bahwa galaksi jauh tersebut semakin menjauhi pengamat, alam semesta mengembang.
Bintang-bintang pada dasarnya bergerak relatif terhadap kita. Menggunakan efek Doppler pada garis spektrum cahaya bintang tersebut, kita dapat dengan mudah menentukan kecepatan radial vr (kecepatan benda searah pandangan pengamat) gerak relatifnya,

Dengan λ0 merupakan panjang gelombang tersisa saat pergeseran spektrum dan c adalah kecepatan cahaya.
Namun, untuk komponen kecepatan tangensial (linier) vt sebuah bintang/objek sangat sulit ditentukan. Komponen kecepatan ini bisa didapatkan melalu Proper Motion (Gerak Sejati) objek tersebut. Karena efek paralaks sebelumnya, posisi bintang juga berubah dalam fungsi waktu karena kecepatan relatif komponen transversalnya terhadap Matahari. Gerak sejati µ adalah juga merupakan kecepatan anguler (sudut) objek yang diukur dalam miliarcsecond per tahun (mas/tahun). Kecepatan anguler ini terhubung dengan kecepatan tangensial menggunakan persamaan matematis,

atau

Sehingga para ilmuwan dapat menghitung kecepatan tangensial menggunakan gerak sejati dan jarak. Jika persamaan jarak D pada metode paralaks sebelumnya digabung dengan persamaan ini, akan menghasilkan,

Tentu saja gerak sejati sebuah objek memiliki dua komponen utama yaitu kecepatan anguler dan arah objek dalam kerangka bola (kerangka yang sering dipakai ilmuwan dalam menentukan properti vektor suatu objek). Bersama dengan kecepatan tangensial, komponen ini membentuk kecepatan vektor 3-dimensi objek tersebut.
Paralaks Gugus Bintang yang Bergerak
Bintang biasanya eksis dalam sebuah kelompok yang dinamakan gugus bintang (gugus bola dan gugus terbuka) berisi ratusan hingga jutaan bintang yang terikat gaya gravitasi. Contohnya kluster bintang terbuka Pleiades (juga dikenal dengan sebutan Messier 45) yang bahkan bisa dilihat dengan mata telanjang di malam hari berisi ribuan bintang anggota.
Kecepatan ruang bintang-bintang dalam gugus terbuka biasanya mirip satu sama lain. Sehingga vektor proper motion (gerak sejati)-nya pasti juga mirip. Tingkat akurasi kemiripan ini bergantung pada besar sudut gugus bintang tersebut dalam sebuah kerangka bola.

Seperti fenomena saat kita (pengamat) melihat dua kereta api yang bergerak sejajar namun tampak tidak sejajar bagi kita. Vektor kecepatan gugus bintang juga kelihatan tidak sejajar bagi pengamat di Bumi. Vektor kecepatan ini mengarah pada titik temu (convergence point) seperti yang terlihat pada gambar di atas.
Asumsikan gugus bintang dan anggotanya memiliki kecepatan ruang v yang sama, posisi sebuah bintang ke-i dalam fungsi waktu akan menjadi

dengan ri merupakan posisi saat ini pada t = 0, misalnya pengamat memulai pengamatannya saat ini. Sehingga arah bintang ke-i tersebut akan menjadi

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk waktu yang lama, t → ∞, arah vektor ini akan mirip bagi semua bintang anggota gugus,

Untuk waktu yang lama, semua bintang akan terlihat berada di posisi yang sama di nconv , titik temu (convergence point). Hal ini hanya bergantung pada arah vektor kecepatan bintang-bintang tersebut bergerak menuju titik temu. Sehngga nconv dan juga v/|v| dapat diukur dari gerak sejati sebuah bintang dalam gugus. Dengan kata lain, satu komponen v bisa ditentukan dari kecepatan radial vr (lihat kembali pada metode proper motion sebelumnya). Dengan dua komponen v yang bisa diobservasi ini, vektor kecepatan tiga dimensinya kemudian seluruhnya bisa ditentukan. Taruhlah ψ sebagai sudut antara garis penglihatan pengamat n menuju sebuah bintang dalam suatu gugus dan v. Sudut ψ langsung bisa dilihat dari arah vektor n dan titik temu,

Dengan v ≡ |v|, maka

sehingga

Ini berarti bahwa kecepatan tangensial (sudut) dapat dicari tanpa mengetahui jarak sebuah bintang dalam suatu gugus. Sehingga persamaan sebelumnya,

akan menjadi


Metode ini memiliki tingkat akurasi gugus bintang dengan jarak ∼ 200 pc. Tingkat akurasi ini bergantung pada pengukuran gerak sejati sebuah gugus bintang. Selain itu, sebuah gugus harus menempati area cukup besar dilangit sehingga titik temu (convergence point) bisa ditentukan dengan baik.
Jarak Bintang Biner (Ganda) yang Tampak
Menggunakan hukum ketiga Keppler,

yang menunjukkan hubungan antara periode orbital P sebuah sistem bintang biner dengan massa mi dua komponennya dan sumbu semi-mayor elips a. Sumbu semi-mayor ini ditentukan oleh vektor pemisah antara dua bintang selama satu periode. Hukum ini juga bisa digunakan untuk menentukan jarak sebuah sistem bintang biner tampak. Untuk sistem tersebut, periode P dan diameter anguler 2θ orbitnya merupakan hasil observasi langsung. Jika ilmuwan tahu massa dua bintang tersebut, misalnya dari klasifikasi spektra-nya, a bisa ditentukan berdasarkan persamaan matematis di atas sehingga D akan menjadi

Sebenarnya masih ada beberapa metode yang digunakan para ilmuwan dalam menentukan jarak objek dalam sistem galaksi kita seperti fotometri, spektrokopi dan penentuan jarak bintang berdenyut (pulsar). Ketiga metode tersebut mirip dengan penentuan jarak dan diameter bintang menggunakan diagram H-R (sebenarnya sistem bintang biner juga sih) sehingga mungkin akan dibahas di postingan selanjutnya.
Referensi
Barbara Ryden. 2006. Introduction to Cosmology. Department of Astronomy. The Ohio State University
Peter Schneider. 2015. Extragalactic Astronomy and Cosmology – An Introduction, 2nd Edition. Springer